1.
Zaman Paleolithikum (Batu Tua)
Zaman batu
adalah suatu periode ketika peralatan manusia secara dominan terbuat dari batu
walaupun ada pula alat-alat penunjang hidup manusia yang terbuat dari kayu
ataupun bambu. Namun alat-alat yang terbuat dari kayu atau tulang tersebut
tidak meninggalkan bekas sama sekali. Hal ini disebabkan karena bahan-bahan
tersebut tidak tahan lama. Dalam zaman ini alat-alat yang dihasilkan masih
sangat kasar (sederhana) karena hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup saja. Zaman
batu tua diperkirakan berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang lalu, yaitu
selama masa pleistosen (diluvium). Pada zaman paleolithikum ini, alat-alat yang
mereka hasilkan masih sangat kasar.
Paleolitikum atau zaman batu tua disebut demikian sebab alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Manusia pendukung zaman ini adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soloensis. Fosil-fosil ini ditemukan di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Mereka memiliki kebudayaan Pacitan dan Ngandong. Kebudayaan Pacitan pada tahun 1935, Von Koenigswald menemukan alat-alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Cara kerjanya digenggam dengan tangan. Kapak ini dikerjaan dengan cara masih sangat kasar. Para ahli menyebut alat pada zaman Paleolithikum dengan nama chopper. Alat ini ditemukan di Lapisan Trinil. Selain di Pacitan, alat-alat dari zaman Paleplithikum ini temukan di daerah Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Selatan).
A. CIRI-CIRI ZAMAN PALEOLITHIKUM
1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo Soliensis. Fosil ini ditemukan di aliran sungai Bengawan Solo.
Paleolitikum atau zaman batu tua disebut demikian sebab alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Manusia pendukung zaman ini adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soloensis. Fosil-fosil ini ditemukan di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Mereka memiliki kebudayaan Pacitan dan Ngandong. Kebudayaan Pacitan pada tahun 1935, Von Koenigswald menemukan alat-alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Cara kerjanya digenggam dengan tangan. Kapak ini dikerjaan dengan cara masih sangat kasar. Para ahli menyebut alat pada zaman Paleolithikum dengan nama chopper. Alat ini ditemukan di Lapisan Trinil. Selain di Pacitan, alat-alat dari zaman Paleplithikum ini temukan di daerah Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Selatan).
A. CIRI-CIRI ZAMAN PALEOLITHIKUM
1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo Soliensis. Fosil ini ditemukan di aliran sungai Bengawan Solo.
2. Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat dikelompokan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan)
Zaman Paleolithikum ditandai dengan kebudayan manusia yang masih sangat sederhana. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman Paleolithikum, yakni:
1. Hidup
berpindah-pindah (Nomaden)
2. Berburu (Food Gathering)
3. Menangkap ikan
2. Berburu (Food Gathering)
3. Menangkap ikan
B. ALAT-ALAT ZAMAN PALEOLITHIKUM
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah:
1. Kapak Genggam
Kapak
genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut
"chopper" (alat penetak/pemotong)
Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanyasebagai tempat menggenggam. Kapak genggam berfungsi menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.
2. Kapak Perimbas
Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanyasebagai tempat menggenggam. Kapak genggam berfungsi menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.
2. Kapak Perimbas
Kapak
perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata.
Manusia kebudayan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus. Alat ini juga ditemukan
di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra selatan), dan
Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak ditemukan di daerah Pacitan,
Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan Pacitan.
3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa
3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa
Salah satu
alat peninggalan zaman paleolithikum yaitu alat dari tulang binatang. Alat-alat
dari tulang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang
ini berupa alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat
ini adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini
juga biasa digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.
2.
Zaman Mesolithikum
Setelah
pleistosen berganti dengan holosen, kebudayaan paleolithikum tidak begitu saja
lenyap melainkan mengalami perkembangan selanjutnya. Di Indonesia, kebudayaan
paleolithikum itu mendapat pengaruh baru dengan mengalirnya arus kebudayaan
baru dari daratan Asia ygna membawa coraknya sendiri. Kebudayaan baru yang
timbul itu dinamakan Mesolithikum. Kebudayaan mesolithikum ini banyak
ditemukan bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa , Kalimantan, Sulawesi dan di Flores.
Dari peninggalan-peninggalan tersebut dapat diketahui bahwa jaman itu manusia
masih hidup dari berburu dan menangkap ikan (Food-Gathering). Akan tetapi
sebagian sudah mempunyai tempat tinggal tetap, sehingga bisa dimungkinkan sudah
bercocok tanam walau masih sangat sederhana dan secara kecil-kecilan.
Bekas-bekas tempat tinggal mereka ditemukan di pinggir pantai
(Kjokkenmoddinger) dan di dalam gua-gua (Abris Sous Roche). Disitulah pula
banyak didapatkan bekas-bekas kebudayaannya.
Penelitian di bukit kerang menghasilkan banyak penemuan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan pebble / kapak Sumatra. Bentuk pebble dapat dikatakan sudah cukup sempurna dan buatannya agak halus. Hal ini membuktikan bahwa alat-alat pada zaman mesolithikum merupakan pengembangan dari alat-alat zaman paleolithikum, dimana cara pembuatannya lebih baik dan lebih halus dari zaman paleolithikum.
A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
Penelitian di bukit kerang menghasilkan banyak penemuan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan pebble / kapak Sumatra. Bentuk pebble dapat dikatakan sudah cukup sempurna dan buatannya agak halus. Hal ini membuktikan bahwa alat-alat pada zaman mesolithikum merupakan pengembangan dari alat-alat zaman paleolithikum, dimana cara pembuatannya lebih baik dan lebih halus dari zaman paleolithikum.
A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
a. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari
bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi
Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan
Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang
mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau menjadi fosil.
Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara
Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia
purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein
Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak
menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam
Palaeolithikum).
b.
Pebble
(kapak genggam Sumatera = Sumateralith)
Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak
genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan
pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya
yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu
kali yang dipecah-pecah.
c.
Hachecourt
(kapak pendek)
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak
tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan
hachecourt/kapak pendek.
d.
Pipisan
Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang,
juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan
selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk
menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah
diperkirakan digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.
2. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)
Berdasarkan
alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo -
Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti
ujung panah dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa,
dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar
dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai
Sampung Bone Culture.
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
- Abris Sous Roche (Gua tempat tinggal)
Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan
tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai
tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada
Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa
Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada goa
tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan,
kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat
dari tulang dan tanduk rusa.Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan
ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog
disebut sebagai Sampung Bone Culture / kebudayaan tulang dari Sampung. Karena
goa di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti
dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga
ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa
di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan
juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa
Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya
bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh
tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang
masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman
prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut
kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum
yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan
Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote.
Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya
ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.
B. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
Kebudayaan
ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam,
Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali,
seperti bahewa batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang
meninggal dikubur di gua dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya
diposisikan dengan berjongkok dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna
merah bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup.
Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini
banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah
bergeser sejauh 5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi
pengangkatan lapisan-lapisan bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke
Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh,
yakni:
- Kebudayaan pebble dan alat-alat
dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
- Kebudayaan flakes yang datang
ke Indonesia melalui jalur timur.
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Filipina.
C. KEBUDAYAAN TOALA
Kebudayaan
Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan flake dan blade.
Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa,
seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang
meninggal dikuburkan didalam gua dan bila tulang belulangnya telah mengering
akan diberikan kepada keluarganya sebagai kenang-kenangan. Biasanya kaum
perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu,
didalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima
jari yang dilumuri cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah
tanda berkabung. Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban),
Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.
3.
Zaman Neolithikum
Ada dikatakan bahwa neolithikum itu
adalah suatu revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Perubahan
besar ini ditandai dengan berubahnya peradaban penghidupan food-gathering
menjadi foodproducing. Pada saat orang sudah mengenal bercocok tanam dan
berternak. Pertanian yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat primitif dan
hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian
hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka
untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan
sesudah itu ditinggalkan.
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.
A. CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.
B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.
A. CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.
B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
1. Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.
2. Kapak Persegi
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu
migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine
Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau
trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang
besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya
sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah
dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana
lazimnya pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
3. Kapak Lonjong
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali,
dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah
bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan
ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak
lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
4. Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.
5. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.
6. Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.
7. Tembikar (Periuk belanga)
Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya
barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari
bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa
pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa
pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar. Di Melolo, Sumba
banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.
Masa MEGALITHIKUM atau bisa juga di sebut
Masa Zaman Batu Besar, periode
ini ditandai dengan peninggalan kebudayaan yang terbuat dari batu-batu besar.
Beberapa peninggalan Megalithik menurut ahli di gunakan sebagai monumen dan
tempat ritual menurut kepercayaan masa itu.
Dapat
dipastikan bahwa pada zaman ini manusia sudah dapat membuat dan meningkatkan
kebudayaan yang terbuat dari batu-batu besar. Dibeberapa Negara bahkan terdapat
peninggalan dari periode Megalithik seperti Stonehenge di Inggris. Megalithikum sendiri berasal dari
bahasa Yunani, Megalithik,
dimana kata megas
berarti besar, dan lithos berarti batu.
Periodisasi Zaman Meghalitikum
Menurut Van Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum menyebar ke Indonesia
melalui 2 gelombang, yaitu :
1) Megalith
Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM), dibawa oleh
pendukung kebudayaan kapak persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum
: Menhir, Punden berundak, dan Arca-arca statis.
2) Megalith
Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM), dibawa oleh
pendukung kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan Megalith nya :
Kubur batu, Dolmen, dan Arca-arca Dinamis.
Hasil Kebudayaan
Hasil kebudayaan pada zaman Megalithikum dapat dijumpai dalam berbagai
bentuk bangunan dan peralatan yang terbuat dari batu-batu yang besar. Hasil
kebudayaan Megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya
diratakan secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang
diperlukan. Kebudayaan ini berkembang dari zaman Neolithikum sampai zaman
Perunggu. Adapun hasil kebudayaan zaman ini, antara lain :
Kehidupan
Sosial
Pada zaman ini manusia melakukan banyak kegiatan yang menyangkut
kehidupannya. Mereka sudah mempunyai aktifitas seperti berburu dan mengumpulkan
makanan, serta bercocok tanam. Manusia pada zaman ini juga sudah mengenal
kepercayaan utamanya, yaitu Animisme.
Kepercayaan
Diperkirakan
manusia pada zaman Megalithikum ini mengenal kepercayaan terhadap Roh nenek
moyang. Walaupun kepercayaan mereka masih dalam tingkat awal, kepercayaan ini
muncul karena pengetahuan manusia sudah mulai meningkat.
No comments:
Post a Comment