Al-Imam
al-Ghazali bernama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H-505 H/1058-1111 M di Gazhalah,
suatu kota yang terletak di dekat daerah Bandar Thusiy, sebuah kota di wilayah
Khurasan Persia (Iran), bertepatan dengan tahun wafatnya al-Mawardi, seorang
pengacara (Grand Judge) di ostawa.
Beliau
dipanggil (Kuniyah) dengan nama Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama
Hamid. Beliau bergelar Hujjatul Islam Zain Ad-Din ath-Thusiy karena beliau
seorang pakar ilmu fiqih dari aliran madzhab dan ilmu-ilmu lain yang memumpuni
setiap bidangnya. Gelar beliau juga al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan gelar
ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing yaitu berkerja membuat
pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia. Kata al-Ghazali kadang
diucapkan al-Ghazzali, sebutan al-Ghazali diambil dari kata ghazzal (Tukang
pemintal benang), hal itu disebabkan terdapat kesesuaian dengan perkerjaan
ayahnya, yakni memintal benang wol. Sedangkan al-Ghazali diambil dari kata
ghazalah, nama kampung tempat kelahiran al-Ghazali. Sedangkan gelar asy-Syafi'i
menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i.
Namanya dalam Bahasa Latin dikenal dengan sebutan Al-Gazel, dan sebutan
inilah yang biasa digunakan oleh orang-orang Barat (Orientalis) terhadapnya.
Maka jika nama beliau hendak digabungkan dengan gelar dan nama beliau adalah
Hujjatul Islam Zain Ad-Din Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali
ath-Thusiy asy-Syafi'i.
Beliau
berasal dari keluarga yang miskin dan sangat sederhana dan ta’at menjalankan
agama. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara. Ayahnya seorang pemintal wool,
yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Ayahnya mempunyai
cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Ketika
akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya
itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya
segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan
disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka
dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Imam
Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, filosof, teolog, ahli hukum,
penganut madzhab Imam Syafi’i, dan ahli tasawuf. Ia juga seorang tokoh sufi
berpengaruh Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi
perkembangan kemajuan manusia. Meskipun dia dianggap sebagai tokoh sufi, namun
bukan berarti dia tidak melakukan kritikan terhadap sifat-sifat orang sufi yang
melampui batas. Dia sangat kritis terhadap orang-orang sufi yang mempercayai
teori inkarnasi dan penyatuan diri dengan Tuhan. Baginya, orang-orang seperti
ini menjauhkan logika dan akal, serta tidak mengontrol.
Sebagaimana
ulama pada masanya, kesungguhan al-Ghazali dalam hal ilmu telah terlihat
semenjak kecil. Di masa mudanya dia belajar di Naisabur, juga di Khurasan. Dia
belajar fiqih kepada Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Radzakani Al-Thusi. Ketika
berumur 25 tahun, Al-Ghazali berguru kepada Ali Nashr Al-Ismail, seorang ulama
terkenal di Thusiy. Kemudian ia menjadi murid al Imam al-Haramain al-Juwaini,
guru besar di Madrasah al-Nizhamiyah Naisabur. Beliau pernah memegang jawatan
sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad.
Imam
Al-Ghazali meninggal dunia pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah
bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thusiy. Jenazahnya dikebumikan di tempat
kelahirannya.
RIWAYAT PERJALANAN DAN MENUNTUT ILMU
AL-IMAM AL-GHAZALI
Dihikayahkan
bahwa orang tuanya adalah seorang yang shaleh yang tidak mau makan kecuali dari
hasil tangannya sendiri. Ayahnya bekerja sebagai pemintal bulu domba dan
menjualnya di tokonya sendiri. Beliau berasal dari keluarga yang miskin dan
sangat sederhana serta ta’at menjalankan agama. Al-Ghazali mempunyai seorang
saudara yang bernama Ahmad. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin
anaknya menjadi orang alim dan shaleh. Ketika menjelang meninggal, ayahnya
berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan
disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Sebagaimana ayahnya berpesan
tentang dia dan saudara laki-lakinya yang bernama Ahmad kepada seorang
sahabatnya yang merupakan seorang Ahli Tashawwuf dan suka melakukan kebajikan.
Dimana ayahnya berkata kepada temannya: ”Sesungguhya aku sangatlah kesulitan
tentang pelajaran menulis dan aku akan sangat senang untuk menemukan apa yang
terlewat dariku di dalam kedua orang anakku ini. Dan tidak mengapa bagimu
menghabiskan semua yang aku tinggalkan untuk mereka berdua dalam hal ini.”
Ketika dia
(Ayah Imam al-Ghazali) meninggal dunia,
sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak itu
dididik dan disekolahkan, maka mulailah sang Sufi mengajar mereka sampai habis
warisan yang secuil yang di tinggalkan oleh bapak mereka berdua. Setelah harta
pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari
ilmu semampu-mampunya. Maka sang Sufi berkata kepada mereka: ”Ketahuilah
oleh kalian berdua bahwa sesungguhnya aku telah benar-benar membelanjakan apa yang
menjadi hak kalian berdua untuk kalian berdua. Aku hanya lelaki miskin. Tidak
ada hartaku yang dapat membantu kalian berdua. Hendaklah kalian berlindung
kepada sebuah madrasah. Karena sesungguhnya kalian berdua ialah penuntut ilmu.
Sehingga kalian akan mendapatkan kekuatan yang akan membantu kalian di atas
waktu kalian.” Kemudian mereka berdua melakukan hal itu, dan itulah yang
menjadi sebab kebahagiaan dan tingginya tingkatan mereka. Al-Imam Al-Ghazali
menceritakan hal itu dngan mengatakan: ”Kami menuntut ilmu karena selain
Allah S.W.T. lalu aku menolak. Agar hal itu hanya karena Allah S.W.T.”
Diceritakan
bahwa orang tua Al-Ghazali sering mengunjungi para ahli fiqih, duduk-duduk
bersama mereka, meluangkan diri untuk melayani mereka, menemukan kebaikan dalam
diri mereka dan membelanjakan apa yang mungkin baginya untuk mereka. Jika dia
mendengar ucapan mereka dia menangis dan tertunduk. Dia berharap Agar dia
diberi rizki berupa seorang anak yang dapat memberi tuntunan dan menjadikannya
seorang pakar ilmu fiqih. Maka Allah SWT mengabulkan do’anya. Adapun Imam abu
hamid merupakan seorang yang paling ahli dalam ilmu fiqih dimasanya dan
merupakan pemuka orang segenerasinya. Adapun Imam ahmad merupakan seorang
pemberi tuntunan yang dapat melunakkan gendang telinga ketika mendengarkan
nasehatnya dan menggetarkan hati sanubari para yang hadir dalam pertemuan
dzikirnya.
Dimasa kecil
Al-Ghazali dikenal sebagai seorang anak yang cinta ilmu pengetahuan dan
penggandrung mencari kebenaran yang hakiki sekalipun diterpa duka cita, dilanda
aneka rupa duka nestapa dan sengsara. Dan di masa kanak-kanak, Imam Ghazali
belajar mengaji sebagian kecil dari ilmu fiqih kepada al-Imam Ahmad Muhammad
Ar-Radzikaniy di Thusiy, kemudian belajar kepada al-Imam Abi Nashr al-Ismaili
di Jurjani dan akhirnya kembali ke Thusiy lagi. Kemudian setelah itu dia menuju
Naisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya dan
menetap dikediaman al-Imam Al-Haramain Dhiyauddin Abu Al-Ma’Aliy Abdul Malik
bin Syaikh Abu Muhammad Al-Juwainiy (W. 478 H atau 1085 M), Dari beliau inilah
Imam Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu pengetahuan agama
lainnya.
Dimana Imam
al-Ghazali berusaha dengan tekun dan kesungguhan hati sampai dia betul-betul
menguasai bidang Mazhab.Khilafiyah, Perdebatan Manthiq, membaca Ilmu Hikmah dan
Filsafat, mengambil hikmah dari semua itu, memahami ucapan semua pakar ilmu
tersebut, memberikan sanggahan dan menggagalkan berbagai klaim yang mereka
ajukan dan untuk setiap bidang dari berbagai ilmu pengetahuan itu, dia banyak
mengarang banyak kitab, yang mempunyai susunan tematis yang sangat menawan. Al
Ghazali adalah seorang figur yang sangat genius, pandangan luas, kuat daya
hafalnya, jauh dari tipu daya, begitu mendalam melihat suatu pengertian dan
memiliki berbagai pandangan yang betul-betul baralasan. Imam Ghazali memang
orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan
penalaran yang jernih hingga Imam al-Juwaini sempat memberi predikat kepada
beliau itu sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan
"Laut dalam nan menenggelamkan (Bahrun Mughriq)". (Al-Ghazali itu
Laut tak bertepi).
Ketika Imam
Al-Haramain Al-Juwainiy wafat pada Tahun 478 H atau 1085 M, al-Ghazali
meninggalkan Naisabur menuju ke istana Wazir Nidzam al-Mulk yang menjadi
seorang Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk. dimana tempat perjamuannya
merupakan tempat berkumpulnya para pakar ilmu pengetahuan. Kemudian para imam
membentuk sebuah forum diskusi di kediamannya dan disinilah tampak pandangan
Imam Al-Ghazali kepada mereka, dimana mereka juga mengetahui keutamaannya serta
memberikan kekaguman dan ketakjuban di hati sang pemilik rumah. Sehingga beliau
diberikan kepadanya mandat di bidang Akademis Madrasah dan Nidhamiyah di
Baghdad pada Tahun 484 H. Karena kehebatan ilmunya itulah, akhirnya pada Tahun
484 atau 1091 M. Nidzam al-Mulk mengangkat Imam al-Ghazali sebagai guru besar
di Universitas yang didirikannya di Baghdad. Hadirlah Imam al-Ghazali dengan
membawa perbaikan yang sangat besar. Ia pun memiliki kharisma yang sangat
Besar. Bahkan mengalahkan kharisma Para Pejabat dan Menteri. Manusiapun kagum
akan bagusnya perkataannya, sempurnanya keutamaannya, fasihnya lisan, kajiannya
yang mendalam, isyarahnya yang lembut, dan merekapun menyukainya. Dia pun menunaikan
tugas mengajarkan ilmu dan menyebarkannya dengan berbagai pengajian, fatwa
dalam bentuk kedudukan yang luhur, tingkatan yang tinggi, kata-kata yang enak
di dengar, nama yang terkenal membuat berbagai contoh dengan semua itu, dan
keaktifan sehingga menjadikan dia lebih utama ketimbang semua kedudukan yang
ada.
Di
tengah-tengah kesibukannya mengajar di Baghdad, beliau masih sempat mengarang
sejumlah Kitab seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Khulashah Ilmu Fiqh,
Al-Munqil fi Ilm al-Jadal (Ilmu Berdebat), Ma'khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar,
Tashin al-Ma'akhidz, dan Al-Mabadi' wa al-Ghayat fi Fann al-Khalaf. Begitu
juga di tengah-tengah kesibukan ini, beliau juga belajar berbagai ilmu
pengetahuan dan filsafat klasik seperti filsafat Yunani, sebagaimana beliau
juga mempelajari berbagai aliran agama yang beraneka ragam yang terkenal di
waktu itu. Beliau mendalami berbagai bidang studi ini dengan harapan agar dapat
menolongnya mencapai ilmu pengetahuan sejati yang sangat didambakan. Setelah
empat tahun menjalani mandat, beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di
Baghdad. Dia pun meninggalkan semua itu di belakang punggungnya, berangkatlah
dia ke Baitullah al-Haram di Makkah al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah Haji
pada Bulan Dzul Hijjah Tahun 488 H dan dia mengangkat saudaranya Imam Ahmad
sebagai penggantinya untuk mengajar di Baghdad.
Setelah itu
al-Imam al-Ghazali memasuki kota Damaskus sekembalinya menunaikan ibadah Haji
pada Tahun 489 H. dan menetap di sana sebentar, kemudian menuju Baitul Maqdis.
Dia pun mengunjunginya beberapa waktu lalu kembali lagi ke Damaskus dan
beri’tikaf di menara sebelah barat Masjid Jami’ Umawiy dan di sanalah dia
bermukim. di kota tersebut pada satu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan
nama “Al Ghazaliyah”, diambil dari nama mulia itu. Pada masa itulah Imam
Al-Ghazali mengarang Kitab Ihya’ Ulumuddin. Dengan kehidupan serba penuh
ibadah, keadaan dalam kehidupannya pada saat itu amat sederhana, dengan
berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid
dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang membawanya
kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa. Dilanjutkan pengembaraan ke berbagai
padang pasir untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (Haram),
meninggalkan kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian
dan penghayatan agama. Secara kebetulan suatu hari dia memasuki Madrasah
al-Aminah dan menemukan sang Kepala Madrasah berkata: ”Al-Ghazali berkata…”
(Dimana sang kepala madrasah sedang mengupas perkataan al-ghazali), maka Imam
al-Ghazali khawatir akan timbulnya kebanggaan dalam dirinya, dan dia pun
kemudian meninggalkan kota Damaskus. Lalu berkelana keberbagai negeri sehingga
dia memasuki Negeri Mesir dan menuju ke Iskandariah, bermukim disana beberapa
waktu. Dikatakan bahwa dia berkeinginan untuk melanjutkan perjalanan menghadap
Sultan Yusuf bin Tasyifin (Raja Maroko), ketika dia mendengar berita tentang
keadilannya, lalu kemudian sampai pula berita tentang kematiannya. Lalu
kemudian Imam al-Ghazali melanjutkan pengembaraannya keberbagai negeri. Lalu
beliau menulis Kitab “Maqashidul Falasifah” (Ahli-ahli falsafah) dan “Tahafutul
Falasifah”(Kesesatan ahli-ahli falsafah).
Setelah itu,
al-Imam al-Ghazali pulang ke Baghdad, kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyah
di Naisabur sebentar. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi
lain tidak seperti dahulu lagi. Setelah menjadi guru besar dalam berbagai ilmu
pengetahuan agama, sekarang tugas beliau menjadi Imam Ahli Agama dan Tashawwuf
serta penasehat spesialis dalam bidang agama. Kitab pertama yang beliau karang
setelah kembali ke Baghdad ialah Kitab Al-Munqidz min al-Dholal
(Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini dianggap sebagai salah satu buku
referensi yang paling penting bagi sejarawan yang ingin mendapatkan pengetahuan
tentang kehidupan Imam al-Ghazali. Kitab ini mengandung keterangan sejarah
hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tentang nilai-nilai
kehidupan. Dalam kitab ini juga, beliau menjelaskan bagaimana iman dalam jiwa
itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap
atau terbuka bagi umat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan sejati (Ilmu
yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan logika, namun dengan cara ilham dan
mukasyafah (Terbuka hijab) menurut ajaran Tashawwuf.
Sekembalinya
Imam Ghazali ke Baghdad sekitar sepuluh tahun, beliau pindah ke Naisaburi dan
sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau
meninggal dunia di kota Thus, kota kelahirannya. Dia menjadikan sisi rumahnya
sebagai Madrasah bagi para Ahli Fiqih, mengkaji tentang kesufian dan membagi
waktunya untuk berbagai tugas seperti mengkhatamkan Al-Qur’an, berdiskusi
dengan para ulama, mengkaji untuk para penuntut ilmu, melanggengkan shalat,
puasa dan ibadah-ibadah lainnya sampai dia beralih kepada rahmat dan keridhaan
Allah S.W.T.
Dia wafat di
Thusiy pada Hari Senin 14 Jumadil Akhir Tahun 505 H atau 1111 M. dalam usia 55
tahun. Abu al-Farizi bin al-Jauzi, dalam Kitab An-Nabat Inda al-Mamat berkata:
”Berkata Imam Ahmad (Saudara laki-laki Imam al-Ghazali): “Ketika itu Hari
Senin, waktu subuh saudara laki-lakiku Abu Hamid melakukan wudhu, lalu shalat,
lalu berkata: ”Beri aku kain kafan”. Kemudian dia mengambil dan menciumnya lalu
meletakkan pada kedua matanya sambil berkata: ”Dengan mendengar dan patuh untuk
menghadap sang raja”. Kemudian dia menjulurkan kedua kakinya, menghadap kiblat
dan wafat sebelum terbit terang. Semoga Allah S.W.T. mensucikan ruhnya”.
Abu
al-Mudhaffar Muhammad Abyuwardiy (Seorang pujangga bermasyhur) menggambarkan
tentang dirinya dalam berbagai syair, diantaranya: “Berlalu dan hilanglah
suatu yang paling agung sehingga aku menjadi kelaparan karenanya. Seorang yang
tiada bandingannya dalam manusia, untuk menggantikannya.”
Al-Imam al-Ghazali
dimakamkan diluar kebun Thabiran, yaitu pohon tebu di daerah Thusiy, berdekatan
dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli syair yang termasyhur. Sebelum meninggal
Imam Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh
Farancis Bacon seorang filosofi Inggeris iaitu: “Ku letakkan arwahku
dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi sepi. Namaku
akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa
hadapan”. Semoga Allah S.W.T. selalu melimpahkan rahmat kepadanya. Aamiin.
MENJELANG WAFAT
Menjelang
wafat Imam Al-Ghazali terus mempelajari ilmu, mengkaji ilmu dan berdiskusi di
dengan para ulama, serta mengkaji untuk para penuntut ilmu, melanggengkan
shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya sampai dia beralih kepada rahmat dan
keridhaan Allah S.W.T. Berkata Imam Adz-Dzahabi: “Pada akhir kehidupannya,
beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah
shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang,
niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat
meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri”.
Suatu hari,
Imam al-Ghazali terbangun pada dini hari dan sebagaimana biasanya melakukan
shalat dan kemudian beliau bertanya pada adiknya: “Hari apakah sekarang ini?”
Adiknya pun menjawab: “Hari Senin”. Beliau kemudian memintanya untuk
mengambilkan sajadah putihnya, lalu beliau menciumnya, menggelarnya dan
kemudian berbaring diatasnya sambil berkata lirih: “Ya Allah, hamba mematuhi
perintah-Mu”, dan beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya. Di bawah
bantalnya mereka menemukan bait-bait berikut, ditulis oleh Al-Ghazali r.a.
barangkali pada malam sebelumnya:
“Katakan
pada para sahabatku, ketika mereka melihatku, mati Menangis untukku dan berduka
bagiku.
Janganlah
mengira bahwa jasad yang kau lihat ini adalah aku.
Dengan nama
Allah, kukatakan padamu, ini bukanlah aku,
Aku adalah
jiwa, sedangkan ini hanyalah seonggok daging.
Ini hanyalah
rumah dan pakaian ku sementara waktu.
Aku adalah
harta karun, jimat yang tersembunyi,
Dibentuk
oleh debu, yang menjadi singgasanaku,
Aku adalah
mutiara, yang telah meninggalkan rumahnya,
Aku adalah
burung, dan badan ini hanyalah sangkar ku.
Dan kini aku
lanjut terbang dan badan ini kutinggal sebagai kenangan.
Segala puji
bagi Tuhan, yang telah membebaskan aku.
Dan
menyiapkan aku tempat di surga tertinggi,
Hingga hari
ini, aku sebelumnya mati, meskipun hidup diantara mu.
Kini aku
hidup dalam kebenaran, dan pakaian kubur ku telah ditanggalkan.
Kini aku
berbicara dengan para malaikat diatas,
Tanpa hijab,
aku bertemu muka dengan Tuhanku.
Aku melihat
Lauh Mahfuz, dan didalamnya ku membaca. Apa yang telah, sedang dan akan terjadi.
Biarlah
rumahku runtuh, baringkan sangkarku di tanah,
Buanglah
sang jimat, itu hanyalah sebuah kenang-kenangan, tidak lebih,
Sampingkan
jubahku, itu hanyalah baju luar ku,
Letakkan
semua itu dalam kubur, biarkanlah terlupakan,
Aku telah
melanjutkan perjalananku dan kalian semua tertinggal.
Rumah kalian
bukanlah tempat ku lagi.
Janganlah
berpikir bahwa mati adalah kematian, tapi itu adalah kehidupan,
Kehidupan
yang melampaui semua mimpi kita disini,
Di kehidupan
ini, kita diberikan tidur,
Kematian
adalah tidur, tidur yang diperpanjang.
Janganlah
takut ketika mati itu mendekat,
Itu hanyalah
keberangkatan menuju rumah yang terberkati ini.
Ingatlah
akan ampunan dan cinta Tuhanmu,
Bersyukurlah
pada KaruniaNya dan datanglah tanpa takut.
Aku yang
sekarang ini, kau pun dapat menjadi
Karena aku
tahu kau dan aku adalah sama
Jiwa-jiwa
yang datang dari Tuhannya
Badan badan
yang berasal sama
Baik atapun
jahat, semua adalah milik kita
Aku
sampaikan pada kalian sekarang pesan yang menggembirakan
Semoga
kedamaian dan kegembiraan Allah menjadi milikmu selamanya”.
Abu
al-Farizi bin al-Jauzi, dalam Kitab An-Nabat Inda al-Mamat berkata: ”Berkata
Imam Ahmad (Saudara laki-laki Imam Ghazali): “Ketika itu Hari Senin, waktu
subuh saudara laki-lakiku Abu Hamid melakukan wudhu, lalu shalat,lalu berkata:
”Beri aku kain kafan.” kemudian dia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan
pada kedua matanya sambil berkata: ”dengan mendengar dan patuh untuk menghadap
sang raja.” kemudian dia menjulurkan kedua kakinya, menghadap kiblat dan wafat
sebelum terbit terang. Semoga Allah S.W.T. mensucikan ruhnya”
KARYA-KARYA AL-IMAM AL-GHAZALI
Karya-karya
Al-Imam al-Ghazali selama masa hidup sangatlah banyak bahkan karya-karya itu
berjumlah hamper 100 buah karya. Dintaranya:
Pertama,
dalam masalah Ushuluddin dan Aqidah:
Kitab
Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari Kitab beliau Jawahirul Qur’an.
Kitab Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Kitab Ihya’ Ulumuddin pada
jilid pertama. Kitab Al-Iqtishad Fil I’tiqad. Kitab Tahafut Al-Falasifah yaitu
berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan
menggunakan kaidah Mazhab Asy’ariyah. Kitab Faishal At-Tafriqah Bainal Islam Wa
Zanadiqah.
Kedua, dalam
Ilmu Ushul, Fiqih, Filsafat, Manthiq dan Tashawwuf, beliau memiliki karya yang
sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
Kitab
Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul, Kitab Mahakun Nadzar, Kitab Mi’yarul Ilmi yaitu
Kedua kitab ini berbicara tentang Mantiq. Kitab Ma’ariful Aqliyah. Kitab
Misykatul Anwar. Kitab Al-Maqshad Al-Asna Fi Syarhi Asma Allah Al-Husna. Kitab
Mizanul Amal. Kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Kitab Al Ajwibah Al
Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah. Kitab Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati
An Nafsi. Kitab Qanun At-Ta’wil. Kitab Fadhaih Al-Bathiniyah dan Al-Qisthas
Al-Mustaqim yaitu edua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte
batiniyah. Kitab Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab Raudhatuth Thalibin Wa
Umdatus Salikin, Kitab Ar Risalah Al-Laduniyah. Kitab Ihya’ Ulumuddin. Kitab
Al-Munqidz Minad Dhalalah yaitu tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi
biografinya. Kitab Al-Wasith. Kitab Al-Basith. Kitab Al-Wajiz. Kitab
Al-Khulasha.
KEPRIBADIAN DAN PENGARUH AL-IMAM
AL-GHAZALI
Kepribadian
dan pengaruh Imam al-Ghazali dalam bidang keilmuan dalam memberikan khazanah
ilmu Agama Islam dikarenakan beliau mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak
berhujjah. Beliau digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Beliau
sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan
pusat kebesaran Islam. Beliau berjaya mengusai berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Beliau juga
sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara
serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum
beliau memulai pengambaraan, beliau telah mempelajari karya Ahli Sufi ternama
seperti Imam Al-Junaid Sabili dan Imam Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah
mengembara selama sepuluh tahun. Beliau telah mengunjungi tempat-tempat suci
yang bertaburan di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem,
dan Mesir. Beliau terkenal sebagai Ahli Filsafat Islam yang telah mengharumkan
nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak
kecil, berliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan
beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat
tercela yang lain. Beliau sangat kuat beribadat, wara’, zuhud, dan tidak gemar
kepada kemewahan, kepalsuan. Kemegahan, dan kepura-puraan dan mencari sesuatu
untuk mendapat keridhaan dari Allah SWT. Beliau mempunyai keahlian dalam
berbagai bidang ilmu terutamanya Fiqih, Ushul Fiqih, dan Siyasah Syariah. Oleh
karena itu, beliau disebut sebagai seorang Faqih.
Pengaruh
filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi
celaan terhadap Filsafat, seperti Kitab At-Tahafut yang membongkar kejelekan
filsafat. Al-Ghazali tidaklah menolak filsafat dan tidak pula mengekang
kebebasan berfikir (Jjtihad). Hal ini dapat dibuktikan dengan sikapnya yang
menggabungkan filsafat dengan Ilmu Kalam. Menggabungkan prinsip-prinsip
filsafat dengan mistis dalam teologinya. Dalam hal kebebasan berfikir (Ijtihad),
Imam al-Ghazali termasuk orang yang mendukungnya. Bahkan dia diberi gelar
sebagai kelompok al-Mushawibah, kelompok yang selalu membenarkan upaya ijtihad.
Informasi ini sekaligus menjawab tuduhan yang menyatakan al-Ghazali sebagai
“Penggagas Tertutupnya Ijtihad”.
Al-Imam
al-Ghazali meninggalkan banyak karya yang tidak dapat dilupakan oleh ummat
Muslimin khususnya dan dunia umumnya. Dengan karangan-karangan yang berjumlah
hampir 100 buah banyaknya. Diantaranya kitab Ihya yang terisi dari pada empat
jilid besar. Kitab Ihya amatlah terkenal dirata-rata dunia. Di Eropa beliau
mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih bahasa ke dalam beberapa
bahasa modern. Dalam dunia Kristian telah lahir pula kemudian Thomas A Kempis
(1379-1471 M) yang mengikuti pribadi Imam Al-Ghazali dalam dunia Islam
berhubung dengan karangannya “De Imitation Christi” yang sifatnya mendekati
Kitab Ihya’ Ulumuddin, tetapi dengan pendekatan dari pendidikan ilmu Kristian.
Diantara
karangan Imam al-Ghazali yang banyak itu, terdapat dua buah yang kurang
dikenali dinegara kita, akan tetapi sangat terkenal didunia Barat. Malah
menyebabkan pecah perang pena antara ahli falsafah yaitu Kitab “Maqashidul
falasifah” (Ahli-ahli falsafah) dan “Tahafutul falasifah”(Kesesatan ahli-ahli
falsafah). Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam-macam Ilmu
Falsafah dan Mantik, Metafisika, dan Fisika. Kitab ini sudah diterjemahkan oleh
Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad ke 12 M. Kitab yang kedua
memberi kritikan yang tajam atas system Falsafah yang telah diterangkan satu
persatu dalam kitab yang pertama tadi. Imam Al-Ghazali sendiri menerangkan
dalam kitab yang kedua itu, bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi
adalah mengumpul dahulu bahan-bahan untuk para pembaca, dan yang kemudiannya
akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua.
Beberapa
puluh tahun kemudia lahirlah di Andalusia (Spanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan
Filosof Cordova(1126-1198). Dia membantah akan pendirian Imam Al-Ghazali dalam
hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya
“Tahafutu-tahafutil falasifah”(Kesesatan buku Tahafutul falasifah Al-Ghazali).
Dalam buku ini Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalahan pahaman Imam Al-Ghazali
tentang pergertian apa yang dinamakan falsafah dan beberapa salah fahamnya
tentang pokok-pokok pelajaran falsafah. Namun sekalipun Imam al-Ghazali
dibantah akan tetapi tidak menjadikan alas an kebenaran Ibnu Rusyd karena
tingkatan Imam al-Ghazali adalah Hujjatul Islam dan diakui oleh para Imam dan
ulama. Demikianlah telah beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu
menyerang dan menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah
itu. Keduanya bertempur secara aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan
menantikan waktunya masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan
kalah. Disamping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Imam Al Ghazali,
dilontarkannya Kitab Tahafutul Falasifah ketengah-tengah umat manusia dengan
gaya bahasa yang hidup bergelora. Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh
menghadapi kekayaan bahasa Imam Al-Ghazali. Maka pada akhirnya dalam peperangan
alam fikiran ini, Imam Al-Ghazali tampil ke tengah gelanggang pemenang.
Sebagai
filosofi, Imam Al-Ghazali mengikut aliran falsafah yang boleh dinamakan
“Madzhab Hissiyat” yaitu dapat dikira-kira sama arti dengan Mazhab Perasaan.
Sebagaimana filosof Inggris David Hume (1711-1776 M) yang mengemukakan bahwa
perasaan menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang timbul
di abad ke 18 M, yang semata-mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan
akal manusia. Imam Al-Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian, selama
700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengakui bahwa perasaan itu boleh
keliru juga akan tetapi akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan
kesesatan. Dan tidak dapat mencapai kebenaran sesempurnanya dengan sendiri
saja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan semau-maunya saja. Lalu
akhirnya Imam Al-Ghazali kembali kepada apa yang dinamakannya “Dharuriat” atau
aksioma sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada hidayah yang datang
dari Allah SWT. Imam Al-Ghazali juga tidak kurang mengupas falsafah Socrates,
Aristoteles dan memperbincangkan berbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara
yang halus dan tajam. Tidak kurang juga ia membentangkan Ilmu Mantic dan
menyusun Ilmu Kalam yang tahan uji dibandingkan dengan karangan-karangan
filosof yang lain. Semua ini menunjukkan ketajaman otaknya. Disamping itu tidak
enggan dia berkata dengan kerendahan hatinya serta khusyuk akan kata-kata
“Wallahhu a’lam” artinya “Allah yang Maha Tahu”.
Pada zaman
Imam Al-Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawuf dan ahli fiqih.
Maka salah satu dari usaha Imam Al-Ghazali juga ialah merapatkan kedua golongan
yang bertentangan itu. Baik semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Imam
Al-Ghazali mendapat teman sealiran dan sefahaman, disamping lawan yang
menentang akan pendiriannya. Yang tidak sefahaman, diantaranya Ibnu Rusyd, Ibnu
Thaimiyah, Ibnu Qayyim dan lain-lain.
Didunia
Barat, Imam Al-Ghazali mendapat perhatian besar, mendapat penghargaan dari para
filosofi. Diantaranya Renan, Cassanova, Carra de Vaux dan lain-lain. Seorang
ahli ketimuran Inggris bernama Dr. Zwemmer pernah memasukkan Imam Al-Ghazali
menjadi salah seorang dari empat orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman
Rasulullah Saw sampai kepada zaman kita sekarang, yaitu pada urutan ke empat
setelah Nabi Besar Muhammad s.a.w sendiri, Imam Al Bukhari yaitu ulama hadis
yang terbesar, Imam Al Asy’ariy yaitu ulama tauhid yang termasyhur dan barulah
Imam Al-Ghazali yaitu pengarang Ihya yang terkenal. Maka kemasyuran Imam
al-Ghazali dalam bidang keilmuannya, beliau dikenal di dunia Barat dengan
sebutan Al-Gazel.
Dengan
demikian Imam al-Ghazali adalah salah satu ulama Islam yang berpengaruh didunia
Islam dan dunia Barat. Karya-karya dan keilmuannya menjadikan sebab beliau
diakui dan menjadi sumber khazanah keilmuan dunia hingga hari ini.