Wednesday, January 21, 2015

Biografi Imam Ghazali



Al-Imam al-Ghazali bernama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H-505 H/1058-1111 M di Gazhalah, suatu kota yang terletak di dekat daerah Bandar Thusiy, sebuah kota di wilayah Khurasan Persia (Iran), bertepatan dengan tahun wafatnya al-Mawardi, seorang pengacara (Grand Judge) di ostawa.

Beliau dipanggil (Kuniyah) dengan nama Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Beliau bergelar Hujjatul Islam Zain Ad-Din ath-Thusiy karena beliau seorang pakar ilmu fiqih dari aliran madzhab dan ilmu-ilmu lain yang memumpuni setiap bidangnya. Gelar beliau juga al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan gelar ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing yaitu berkerja membuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia. Kata al-Ghazali kadang diucapkan al-Ghazzali, sebutan al-Ghazali diambil dari kata ghazzal (Tukang pemintal benang), hal itu disebabkan terdapat kesesuaian dengan perkerjaan ayahnya, yakni memintal benang wol. Sedangkan al-Ghazali diambil dari kata ghazalah, nama kampung tempat kelahiran al-Ghazali. Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i.  Namanya dalam Bahasa Latin dikenal dengan sebutan Al-Gazel, dan sebutan inilah yang biasa digunakan oleh orang-orang Barat (Orientalis) terhadapnya. Maka jika nama beliau hendak digabungkan dengan gelar dan nama beliau adalah Hujjatul Islam Zain Ad-Din Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali ath-Thusiy asy-Syafi'i.

Beliau berasal dari keluarga yang miskin dan sangat sederhana dan ta’at menjalankan agama. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.

Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli fikir, filosof, teolog, ahli hukum, penganut madzhab Imam Syafi’i, dan ahli tasawuf. Ia juga seorang tokoh sufi berpengaruh Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Meskipun dia dianggap sebagai tokoh sufi, namun bukan berarti dia tidak melakukan kritikan terhadap sifat-sifat orang sufi yang melampui batas. Dia sangat kritis terhadap orang-orang sufi yang mempercayai teori inkarnasi dan penyatuan diri dengan Tuhan. Baginya, orang-orang seperti ini menjauhkan logika dan akal, serta tidak mengontrol.

Sebagaimana ulama pada masanya, kesungguhan al-Ghazali dalam hal ilmu telah terlihat semenjak kecil. Di masa mudanya dia belajar di Naisabur, juga di Khurasan. Dia belajar fiqih kepada Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Radzakani Al-Thusi. Ketika berumur 25 tahun, Al-Ghazali berguru kepada Ali Nashr Al-Ismail, seorang ulama terkenal di Thusiy. Kemudian ia menjadi murid al Imam al-Haramain al-Juwaini, guru besar di Madrasah al-Nizhamiyah Naisabur. Beliau pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad.

Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thusiy. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.

RIWAYAT PERJALANAN DAN MENUNTUT ILMU AL-IMAM AL-GHAZALI

Dihikayahkan bahwa orang tuanya adalah seorang yang shaleh yang tidak mau makan kecuali dari hasil tangannya sendiri. Ayahnya bekerja sebagai pemintal bulu domba dan menjualnya di tokonya sendiri. Beliau berasal dari keluarga yang miskin dan sangat sederhana serta ta’at menjalankan agama. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara yang bernama Ahmad. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan shaleh. Ketika menjelang meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Sebagaimana ayahnya berpesan tentang dia dan saudara laki-lakinya yang bernama Ahmad kepada seorang sahabatnya yang merupakan seorang Ahli Tashawwuf dan suka melakukan kebajikan. Dimana ayahnya berkata kepada temannya: ”Sesungguhya aku sangatlah kesulitan tentang pelajaran menulis dan aku akan sangat senang untuk menemukan apa yang terlewat dariku di dalam kedua orang anakku ini. Dan tidak mengapa bagimu menghabiskan semua yang aku tinggalkan untuk mereka berdua dalam hal ini.”

Ketika dia (Ayah Imam al-Ghazali) meninggal dunia,  sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, maka mulailah sang Sufi mengajar mereka sampai habis warisan yang secuil yang di tinggalkan oleh bapak mereka berdua. Setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya. Maka sang Sufi berkata kepada mereka: ”Ketahuilah oleh kalian berdua bahwa sesungguhnya aku telah benar-benar membelanjakan apa yang menjadi hak kalian berdua untuk kalian berdua. Aku hanya lelaki miskin. Tidak ada hartaku yang dapat membantu kalian berdua. Hendaklah kalian berlindung kepada sebuah madrasah. Karena sesungguhnya kalian berdua ialah penuntut ilmu. Sehingga kalian akan mendapatkan kekuatan yang akan membantu kalian di atas waktu kalian.” Kemudian mereka berdua melakukan hal itu, dan itulah yang menjadi sebab kebahagiaan dan tingginya tingkatan mereka. Al-Imam Al-Ghazali menceritakan hal itu dngan mengatakan: ”Kami menuntut ilmu karena selain Allah S.W.T. lalu aku menolak. Agar hal itu hanya karena Allah S.W.T.”

Diceritakan bahwa orang tua Al-Ghazali sering mengunjungi para ahli fiqih, duduk-duduk bersama mereka, meluangkan diri untuk melayani mereka, menemukan kebaikan dalam diri mereka dan membelanjakan apa yang mungkin baginya untuk mereka. Jika dia mendengar ucapan mereka dia menangis dan tertunduk. Dia berharap Agar dia diberi rizki berupa seorang anak yang dapat memberi tuntunan dan menjadikannya seorang pakar ilmu fiqih. Maka Allah SWT mengabulkan do’anya. Adapun Imam abu hamid merupakan seorang yang paling ahli dalam ilmu fiqih dimasanya dan merupakan pemuka orang segenerasinya. Adapun Imam ahmad merupakan seorang pemberi tuntunan yang dapat melunakkan gendang telinga ketika mendengarkan nasehatnya dan menggetarkan hati sanubari para yang hadir dalam pertemuan dzikirnya.

Dimasa kecil Al-Ghazali dikenal sebagai seorang anak yang cinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara. Dan di masa kanak-kanak, Imam Ghazali belajar mengaji sebagian kecil dari ilmu fiqih kepada al-Imam Ahmad Muhammad Ar-Radzikaniy di Thusiy, kemudian belajar kepada al-Imam Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya kembali ke Thusiy lagi. Kemudian setelah itu dia menuju Naisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya dan menetap dikediaman al-Imam Al-Haramain Dhiyauddin Abu Al-Ma’Aliy Abdul Malik bin Syaikh Abu Muhammad Al-Juwainiy (W. 478 H atau 1085 M), Dari beliau inilah Imam Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu pengetahuan agama lainnya.
Dimana Imam al-Ghazali berusaha dengan tekun dan kesungguhan hati sampai dia betul-betul menguasai bidang Mazhab.Khilafiyah, Perdebatan Manthiq, membaca Ilmu Hikmah dan Filsafat, mengambil hikmah dari semua itu, memahami ucapan semua pakar ilmu tersebut, memberikan sanggahan dan menggagalkan berbagai klaim yang mereka ajukan dan untuk setiap bidang dari berbagai ilmu pengetahuan itu, dia banyak mengarang banyak kitab, yang mempunyai susunan tematis yang sangat menawan. Al Ghazali adalah seorang figur yang sangat genius, pandangan luas, kuat daya hafalnya, jauh dari tipu daya, begitu mendalam melihat suatu pengertian dan memiliki berbagai pandangan yang betul-betul baralasan. Imam Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam al-Juwaini sempat memberi predikat kepada beliau itu sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan "Laut dalam nan menenggelamkan (Bahrun Mughriq)". (Al-Ghazali itu Laut tak bertepi).

Ketika Imam Al-Haramain Al-Juwainiy wafat pada Tahun 478 H atau 1085 M, al-Ghazali meninggalkan Naisabur menuju ke istana Wazir Nidzam al-Mulk yang menjadi seorang Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk. dimana tempat perjamuannya merupakan tempat berkumpulnya para pakar ilmu pengetahuan. Kemudian para imam membentuk sebuah forum diskusi di kediamannya dan disinilah tampak pandangan Imam Al-Ghazali kepada mereka, dimana mereka juga mengetahui keutamaannya serta memberikan kekaguman dan ketakjuban di hati sang pemilik rumah. Sehingga beliau diberikan kepadanya mandat di bidang Akademis Madrasah dan Nidhamiyah di Baghdad pada Tahun 484 H. Karena kehebatan ilmunya itulah, akhirnya pada Tahun 484 atau 1091 M. Nidzam al-Mulk mengangkat Imam al-Ghazali sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad. Hadirlah Imam al-Ghazali dengan membawa perbaikan yang sangat besar. Ia pun memiliki kharisma yang sangat Besar. Bahkan mengalahkan kharisma Para Pejabat dan Menteri. Manusiapun kagum akan bagusnya perkataannya, sempurnanya keutamaannya, fasihnya lisan, kajiannya yang mendalam, isyarahnya yang lembut, dan merekapun menyukainya. Dia pun menunaikan tugas mengajarkan ilmu dan menyebarkannya dengan berbagai pengajian, fatwa dalam bentuk kedudukan yang luhur, tingkatan yang tinggi, kata-kata yang enak di dengar, nama yang terkenal membuat berbagai contoh dengan semua itu, dan keaktifan sehingga menjadikan dia lebih utama ketimbang semua kedudukan yang ada.


Di tengah-tengah kesibukannya mengajar di Baghdad, beliau masih sempat mengarang sejumlah Kitab seperti Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Khulashah Ilmu Fiqh, Al-Munqil fi Ilm al-Jadal (Ilmu Berdebat), Ma'khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin al-Ma'akhidz, dan Al-Mabadi' wa al-Ghayat fi Fann al-Khalaf. Begitu juga di tengah-tengah kesibukan ini, beliau juga belajar berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat klasik seperti filsafat Yunani, sebagaimana beliau juga mempelajari berbagai aliran agama yang beraneka ragam yang terkenal di waktu itu. Beliau mendalami berbagai bidang studi ini dengan harapan agar dapat menolongnya mencapai ilmu pengetahuan sejati yang sangat didambakan. Setelah empat tahun menjalani mandat, beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Baghdad. Dia pun meninggalkan semua itu di belakang punggungnya, berangkatlah dia ke Baitullah al-Haram di Makkah al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah Haji pada Bulan Dzul Hijjah Tahun 488 H dan dia mengangkat saudaranya Imam Ahmad sebagai penggantinya untuk mengajar di Baghdad.

Setelah itu al-Imam al-Ghazali memasuki kota Damaskus sekembalinya menunaikan ibadah Haji pada Tahun 489 H. dan menetap di sana sebentar, kemudian menuju Baitul Maqdis. Dia pun mengunjunginya beberapa waktu lalu kembali lagi ke Damaskus dan beri’tikaf di menara sebelah barat Masjid Jami’ Umawiy dan di sanalah dia bermukim. di kota tersebut pada satu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama “Al Ghazaliyah”, diambil dari nama mulia itu. Pada masa itulah Imam Al-Ghazali mengarang Kitab Ihya’ Ulumuddin. Dengan kehidupan serba penuh ibadah, keadaan dalam kehidupannya pada saat itu amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa. Dilanjutkan pengembaraan ke berbagai padang pasir untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (Haram), meninggalkan kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan agama. Secara kebetulan suatu hari dia memasuki Madrasah al-Aminah dan menemukan sang Kepala Madrasah berkata: ”Al-Ghazali berkata…” (Dimana sang kepala madrasah sedang mengupas perkataan al-ghazali), maka Imam al-Ghazali khawatir akan timbulnya kebanggaan dalam dirinya, dan dia pun kemudian meninggalkan kota Damaskus. Lalu berkelana keberbagai negeri sehingga dia memasuki Negeri Mesir dan menuju ke Iskandariah, bermukim disana beberapa waktu. Dikatakan bahwa dia berkeinginan untuk melanjutkan perjalanan menghadap Sultan Yusuf bin Tasyifin (Raja Maroko), ketika dia mendengar berita tentang keadilannya, lalu kemudian sampai pula berita tentang kematiannya. Lalu kemudian Imam al-Ghazali melanjutkan pengembaraannya keberbagai negeri. Lalu beliau menulis Kitab “Maqashidul Falasifah” (Ahli-ahli falsafah) dan “Tahafutul Falasifah”(Kesesatan ahli-ahli falsafah).

Setelah itu, al-Imam al-Ghazali pulang ke Baghdad, kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyah di Naisabur sebentar. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak seperti dahulu lagi. Setelah menjadi guru besar dalam berbagai ilmu pengetahuan agama, sekarang tugas beliau menjadi Imam Ahli Agama dan Tashawwuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama. Kitab pertama yang beliau karang setelah kembali ke Baghdad ialah Kitab Al-Munqidz min al-Dholal (Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini dianggap sebagai salah satu buku referensi yang paling penting bagi sejarawan yang ingin mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan Imam al-Ghazali. Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tentang nilai-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga, beliau menjelaskan bagaimana iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap atau terbuka bagi umat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan sejati (Ilmu yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan logika, namun dengan cara ilham dan mukasyafah (Terbuka hijab) menurut ajaran Tashawwuf. 

Sekembalinya Imam Ghazali ke Baghdad sekitar sepuluh tahun, beliau pindah ke Naisaburi dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus, kota kelahirannya. Dia menjadikan sisi rumahnya sebagai Madrasah bagi para Ahli Fiqih, mengkaji tentang kesufian dan membagi waktunya untuk berbagai tugas seperti mengkhatamkan Al-Qur’an, berdiskusi dengan para ulama, mengkaji untuk para penuntut ilmu, melanggengkan shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya sampai dia beralih kepada rahmat dan keridhaan Allah S.W.T.

Dia wafat di Thusiy pada Hari Senin 14 Jumadil Akhir Tahun 505 H atau 1111 M. dalam usia 55 tahun. Abu al-Farizi bin al-Jauzi, dalam Kitab An-Nabat Inda al-Mamat berkata: ”Berkata Imam Ahmad (Saudara laki-laki Imam al-Ghazali): “Ketika itu Hari Senin, waktu subuh saudara laki-lakiku Abu Hamid melakukan wudhu, lalu shalat, lalu berkata: ”Beri aku kain kafan”. Kemudian dia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan pada kedua matanya sambil berkata: ”Dengan mendengar dan patuh untuk menghadap sang raja”. Kemudian dia menjulurkan kedua kakinya, menghadap kiblat dan wafat sebelum terbit terang. Semoga Allah S.W.T. mensucikan ruhnya”.

Abu al-Mudhaffar Muhammad Abyuwardiy (Seorang pujangga bermasyhur) menggambarkan tentang dirinya dalam berbagai syair, diantaranya: “Berlalu dan hilanglah suatu yang paling agung sehingga aku menjadi kelaparan karenanya. Seorang yang tiada bandingannya dalam manusia, untuk menggantikannya.

Al-Imam al-Ghazali dimakamkan diluar kebun Thabiran, yaitu pohon tebu di daerah Thusiy, berdekatan dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli syair yang termasyhur. Sebelum meninggal Imam Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh Farancis Bacon seorang filosofi Inggeris iaitu: “Ku letakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi sepi. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa hadapan”. Semoga Allah S.W.T. selalu melimpahkan rahmat kepadanya. Aamiin.

MENJELANG WAFAT

Menjelang wafat Imam Al-Ghazali terus mempelajari ilmu, mengkaji ilmu dan berdiskusi di dengan para ulama, serta mengkaji untuk para penuntut ilmu, melanggengkan shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya sampai dia beralih kepada rahmat dan keridhaan Allah S.W.T. Berkata Imam Adz-Dzahabi: “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri”.

Suatu hari, Imam al-Ghazali terbangun pada dini hari dan sebagaimana biasanya melakukan shalat dan kemudian beliau bertanya pada adiknya: “Hari apakah sekarang ini?” Adiknya pun menjawab: “Hari Senin”. Beliau kemudian memintanya untuk mengambilkan sajadah putihnya, lalu beliau menciumnya, menggelarnya dan kemudian berbaring diatasnya sambil berkata lirih: “Ya Allah, hamba mematuhi perintah-Mu”, dan beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya. Di bawah bantalnya mereka menemukan bait-bait berikut, ditulis oleh Al-Ghazali r.a. barangkali pada malam sebelumnya:
Katakan pada para sahabatku, ketika mereka melihatku, mati Menangis untukku dan berduka bagiku.
Janganlah mengira bahwa jasad yang kau lihat ini adalah aku.
Dengan nama Allah, kukatakan padamu, ini bukanlah aku,
Aku adalah jiwa, sedangkan ini hanyalah seonggok daging.
Ini hanyalah rumah dan pakaian ku sementara waktu.
Aku adalah harta karun, jimat yang tersembunyi,
Dibentuk oleh debu, yang menjadi singgasanaku,
Aku adalah mutiara, yang telah meninggalkan rumahnya,
Aku adalah burung, dan badan ini hanyalah sangkar ku.
Dan kini aku lanjut terbang dan badan ini kutinggal sebagai kenangan.
Segala puji bagi Tuhan, yang telah membebaskan aku.
Dan menyiapkan aku tempat di surga tertinggi,
Hingga hari ini, aku sebelumnya mati, meskipun hidup diantara mu.
Kini aku hidup dalam kebenaran, dan pakaian kubur ku telah ditanggalkan.
Kini aku berbicara dengan para malaikat diatas,
Tanpa hijab, aku bertemu muka dengan Tuhanku.
Aku melihat Lauh Mahfuz, dan didalamnya ku membaca. Apa yang telah, sedang dan akan terjadi.
Biarlah rumahku runtuh, baringkan sangkarku di tanah,
Buanglah sang jimat, itu hanyalah sebuah kenang-kenangan, tidak lebih,
Sampingkan jubahku, itu hanyalah baju luar ku,
Letakkan semua itu dalam kubur, biarkanlah terlupakan,
Aku telah melanjutkan perjalananku dan kalian semua tertinggal.
Rumah kalian bukanlah tempat ku lagi.
Janganlah berpikir bahwa mati adalah kematian, tapi itu adalah kehidupan,
Kehidupan yang melampaui semua mimpi kita disini,
Di kehidupan ini, kita diberikan tidur,
Kematian adalah tidur, tidur yang diperpanjang.
Janganlah takut ketika mati itu mendekat,
Itu hanyalah keberangkatan menuju rumah yang terberkati ini.
Ingatlah akan ampunan dan cinta Tuhanmu,
Bersyukurlah pada KaruniaNya dan datanglah tanpa takut.
Aku yang sekarang ini, kau pun dapat menjadi
Karena aku tahu kau dan aku adalah sama
Jiwa-jiwa yang datang dari Tuhannya
Badan badan yang berasal sama
Baik atapun jahat, semua adalah milik kita
Aku sampaikan pada kalian sekarang pesan yang menggembirakan
Semoga kedamaian dan kegembiraan Allah menjadi milikmu selamanya”.

Abu al-Farizi bin al-Jauzi, dalam Kitab An-Nabat Inda al-Mamat berkata: ”Berkata Imam Ahmad (Saudara laki-laki Imam Ghazali): “Ketika itu Hari Senin, waktu subuh saudara laki-lakiku Abu Hamid melakukan wudhu, lalu shalat,lalu berkata: ”Beri aku kain kafan.” kemudian dia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan pada kedua matanya sambil berkata: ”dengan mendengar dan patuh untuk menghadap sang raja.” kemudian dia menjulurkan kedua kakinya, menghadap kiblat dan wafat sebelum terbit terang. Semoga Allah S.W.T. mensucikan ruhnya

KARYA-KARYA AL-IMAM AL-GHAZALI

Karya-karya Al-Imam al-Ghazali selama masa hidup sangatlah banyak bahkan karya-karya itu berjumlah hamper 100 buah karya. Dintaranya:

Pertama, dalam masalah Ushuluddin dan Aqidah:
Kitab Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari Kitab beliau Jawahirul Qur’an. Kitab Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Kitab Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama. Kitab Al-Iqtishad Fil I’tiqad. Kitab Tahafut Al-Falasifah yaitu berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah Mazhab Asy’ariyah. Kitab Faishal At-Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.

Kedua, dalam Ilmu Ushul, Fiqih, Filsafat, Manthiq dan Tashawwuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:
Kitab Al-Mustashfa Min Ilmil Ushul, Kitab Mahakun Nadzar, Kitab Mi’yarul Ilmi yaitu Kedua kitab ini berbicara tentang Mantiq. Kitab Ma’ariful Aqliyah. Kitab Misykatul Anwar. Kitab Al-Maqshad Al-Asna Fi Syarhi Asma Allah Al-Husna. Kitab Mizanul Amal. Kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Kitab Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah. Kitab Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi. Kitab Qanun At-Ta’wil. Kitab Fadhaih Al-Bathiniyah dan Al-Qisthas Al-Mustaqim yaitu edua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Kitab Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, Kitab Ar Risalah Al-Laduniyah. Kitab Ihya’ Ulumuddin. Kitab Al-Munqidz Minad Dhalalah yaitu tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya. Kitab Al-Wasith. Kitab Al-Basith. Kitab Al-Wajiz. Kitab Al-Khulasha.

KEPRIBADIAN DAN PENGARUH AL-IMAM AL-GHAZALI

Kepribadian dan pengaruh Imam al-Ghazali dalam bidang keilmuan dalam memberikan khazanah ilmu Agama Islam dikarenakan beliau mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Beliau digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Beliau sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Beliau berjaya mengusai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Beliau juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengambaraan, beliau telah mempelajari karya Ahli Sufi ternama seperti Imam Al-Junaid Sabili dan Imam Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama sepuluh tahun. Beliau telah mengunjungi tempat-tempat suci yang bertaburan di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Beliau terkenal sebagai Ahli Filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil, berliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Beliau sangat kuat beribadat, wara’, zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan. Kemegahan, dan kepura-puraan dan mencari sesuatu untuk mendapat keridhaan dari Allah SWT. Beliau mempunyai keahlian dalam berbagai bidang ilmu terutamanya Fiqih, Ushul Fiqih, dan Siyasah Syariah. Oleh karena itu, beliau disebut sebagai seorang Faqih.

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap Filsafat, seperti Kitab At-Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Al-Ghazali tidaklah menolak filsafat dan tidak pula mengekang kebebasan berfikir (Jjtihad). Hal ini dapat dibuktikan dengan sikapnya yang menggabungkan filsafat dengan Ilmu Kalam. Menggabungkan prinsip-prinsip filsafat dengan mistis dalam teologinya. Dalam hal kebebasan berfikir (Ijtihad), Imam al-Ghazali termasuk orang yang mendukungnya. Bahkan dia diberi gelar sebagai kelompok al-Mushawibah, kelompok yang selalu membenarkan upaya ijtihad. Informasi ini sekaligus menjawab tuduhan yang menyatakan al-Ghazali sebagai “Penggagas Tertutupnya Ijtihad”.

Al-Imam al-Ghazali meninggalkan banyak karya yang tidak dapat dilupakan oleh ummat Muslimin khususnya dan dunia umumnya. Dengan karangan-karangan yang berjumlah hampir 100 buah banyaknya. Diantaranya kitab Ihya yang terisi dari pada empat jilid besar. Kitab Ihya amatlah terkenal dirata-rata dunia. Di Eropa beliau mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih bahasa ke dalam beberapa bahasa modern. Dalam dunia Kristian telah lahir pula kemudian Thomas A Kempis (1379-1471 M) yang mengikuti pribadi Imam Al-Ghazali dalam dunia Islam berhubung dengan karangannya “De Imitation Christi” yang sifatnya mendekati Kitab Ihya’ Ulumuddin, tetapi dengan pendekatan dari pendidikan ilmu Kristian.

Diantara karangan Imam al-Ghazali yang banyak itu, terdapat dua buah yang kurang dikenali dinegara kita, akan tetapi sangat terkenal didunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena antara ahli falsafah yaitu Kitab “Maqashidul falasifah” (Ahli-ahli falsafah) dan “Tahafutul falasifah”(Kesesatan ahli-ahli falsafah). Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam-macam Ilmu Falsafah dan Mantik, Metafisika, dan Fisika. Kitab ini sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad ke 12 M. Kitab yang kedua memberi kritikan yang tajam atas system Falsafah yang telah diterangkan satu persatu dalam kitab yang pertama tadi. Imam Al-Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi adalah mengumpul dahulu bahan-bahan untuk para pembaca, dan yang kemudiannya akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua.

Beberapa puluh tahun kemudia lahirlah di Andalusia (Spanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan Filosof Cordova(1126-1198). Dia membantah akan pendirian Imam Al-Ghazali dalam hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya “Tahafutu-tahafutil falasifah”(Kesesatan buku Tahafutul falasifah Al-Ghazali). Dalam buku ini Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalahan pahaman Imam Al-Ghazali tentang pergertian apa yang dinamakan falsafah dan beberapa salah fahamnya tentang pokok-pokok pelajaran falsafah. Namun sekalipun Imam al-Ghazali dibantah akan tetapi tidak menjadikan alas an kebenaran Ibnu Rusyd karena tingkatan Imam al-Ghazali adalah Hujjatul Islam dan diakui oleh para Imam dan ulama. Demikianlah telah beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu. Keduanya bertempur secara aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan menantikan waktunya masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Disamping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Imam Al Ghazali, dilontarkannya Kitab Tahafutul Falasifah ketengah-tengah umat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora. Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi kekayaan bahasa Imam Al-Ghazali. Maka pada akhirnya dalam peperangan alam fikiran ini, Imam Al-Ghazali tampil ke tengah gelanggang pemenang.

Sebagai filosofi, Imam Al-Ghazali mengikut aliran falsafah yang boleh dinamakan “Madzhab Hissiyat” yaitu dapat dikira-kira sama arti dengan Mazhab Perasaan. Sebagaimana filosof Inggris David Hume (1711-1776 M) yang mengemukakan bahwa perasaan menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang timbul di abad ke 18 M, yang semata-mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal manusia. Imam Al-Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian, selama 700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengakui bahwa perasaan itu boleh keliru juga akan tetapi akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dan tidak dapat mencapai kebenaran sesempurnanya dengan sendiri saja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan semau-maunya saja. Lalu akhirnya Imam Al-Ghazali kembali kepada apa yang dinamakannya “Dharuriat” atau aksioma sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada hidayah yang datang dari Allah SWT. Imam Al-Ghazali juga tidak kurang mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan berbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam. Tidak kurang juga ia membentangkan Ilmu Mantic dan menyusun Ilmu Kalam yang tahan uji dibandingkan dengan karangan-karangan filosof yang lain. Semua ini menunjukkan ketajaman otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hatinya serta khusyuk akan kata-kata “Wallahhu a’lam” artinya “Allah yang Maha Tahu”.

Pada zaman Imam Al-Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawuf dan ahli fiqih. Maka salah satu dari usaha Imam Al-Ghazali juga ialah merapatkan kedua golongan yang bertentangan itu. Baik semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Imam Al-Ghazali mendapat teman sealiran dan sefahaman, disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak sefahaman, diantaranya Ibnu Rusyd, Ibnu Thaimiyah, Ibnu Qayyim dan lain-lain.

Didunia Barat, Imam Al-Ghazali mendapat perhatian besar, mendapat penghargaan dari para filosofi. Diantaranya Renan, Cassanova, Carra de Vaux dan lain-lain. Seorang ahli ketimuran Inggris bernama Dr. Zwemmer pernah memasukkan Imam Al-Ghazali menjadi salah seorang dari empat orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rasulullah Saw sampai kepada zaman kita sekarang, yaitu pada urutan ke empat setelah Nabi Besar Muhammad s.a.w sendiri, Imam Al Bukhari yaitu ulama hadis yang terbesar, Imam Al Asy’ariy yaitu ulama tauhid yang termasyhur dan barulah Imam Al-Ghazali yaitu pengarang Ihya yang terkenal. Maka kemasyuran Imam al-Ghazali dalam bidang keilmuannya, beliau dikenal di dunia Barat dengan sebutan Al-Gazel.

Dengan demikian Imam al-Ghazali adalah salah satu ulama Islam yang berpengaruh didunia Islam dan dunia Barat. Karya-karya dan keilmuannya menjadikan sebab beliau diakui dan menjadi sumber khazanah keilmuan dunia hingga hari ini.